Cerpen tentang keluarga. April, sad!

April, sad!

By Vita Puspita Windiyanti

 

Disuatu pagi yang cerah, masih di kota yg sama. Malang. Tempatku dilahirkan dan dibesarkan oleh seorang ibu, ya, hanya ibu. Aku tengah menikmati belaian angin pagi bercampur polusi dan hirup pikuk orang lalu lalang melintas. Aku merebahkan tubuhku sejenak di bangku taman dekat sekolahku. Masih dengan seragam putih abu-abu ku.

"Hai bro..", suara Rio membuyarkan lamunanku.

"Apaan si, ngagetin". Aku menjawab suara Rio dengan sedikit rasa marah. Rio adalah teman sekelasku, dia adalah salah satu murid yang bandel, sering bolos hanya untuk sekedar nongkrong dengan teman-temannya.

"Telat lagi loe? Hahaha yuk ikut gue aja".

"Nongkrong? Halaah mending gue cari kerja", sambil beranjak pergi mengabaikan Rio.

"Hahaha dasar cupu", tawa Rio lantang seakan menertawakan kepahitan hidupku.

Ya, beginilah aku, sering telat sekolah karena harus kerja part time di cafe, berangkat sore pulang tengah malam. Masih dengan seragamku yang lusuh, aku mencari uang tambahan di pasar. Menjadi tukang panggul, angkat beras, apapun itu asalkan dapat uang.

Pasti kalian mengira aku adalah orang miskin, kerja banting tulang untung menutupi kebutuhan keluarga. Tidak, keluarga ku bisa di bilang cukup mampu. Aku bisa makan dengan layak, tinggal dirumah yang cukup besar, tidur dengan kasur yg empuk, terkadang aku juga bisa membeli barang-barang yang aku inginkan.

Siang ini begitu panas, pasar juga sangat rame. Jam menunjukkan puku 1 siang, aku menyandarkan tubuhku sejenak di warung dekat sekolahku, sambil menunggu jam 3 sore aku harus berangkat ke cafe.

"Van, kamu kenapa bolos lagi? Pasti kerja, tuhkan seragam kamu bisa kotor gitu".

Siska, sahabatku dari SMP, pacarku sejak SMA. Dia perempuan yang baik, menerima semua kekuranganku, hanya dia yang tau masalah hidupku, selain mama.

"Aku gak bolos, aku telat. Aturannya kan 15 menit gak boleh masuk, yaudah aku kerja aja".

"Ya ampun Van, kita kan bentar lagi UNAS, itu yang nentuin nasib kita".

"Sayang, yang nentuin nasib kita itu cuma Tuhan".

"Iya tau, tapi kamu gak bisa kayak gini dong.. nilai kamu bisa jelek gara-gara kamu jarang masuk kelas".

"Iya iya besok janji deh gak telat lagi".

"Halaah, gitu mulu jawabannya. Yaudah nih", Siska memberikan setumpuk kertas kepadaku

"Apa ini?"

"Yah tugas2 kamu, besok kan harus di kumpulin semua".

"Kamu kerjain semua?".

"Iya".

Aku memeluk dia dengan erat, bahagia, sedih, haru. Aku janji, tidak akan mengecewakan hati yang sebaik itu.

"Ma, aku pulang", aku membuka pintu dan melempar tas bersama tubuhku ke sofa. Sekejap aku melirik jam, jarum menunjukkan pukul 1 tepat.

"Devan, Mama mau bicara", aku terkejut mendengar suara lembut mama, karena setiap malam aku pulang dan memanggil mama, beliau pasti sudah tertidur. Tapi kali ini..

"Loh, mama tumben belum tidur. Mau ngmong apa Ma, besok aja kan bisa, mama sekarang istirahat ya". Aku mengelus pundak mama, menatap mata yang mencerminkan hati yang sedang sedih.

"Enggak, Mama mau ngomong sekarang aja." Satu tetes air mata pun akhirnya jatuh dari mata mama.

"Mama kenapa kok nangis? Keinget papa?", Dengan nada khawatir aku memeluk mama, takut mama akan mengingat kejadian 6 tahun yang lalu. Papa meninggal karena kecelakaan mobil bersama kakak perempuanku, papa dan kakak meninggal dalam perjalanan pulang seusai papa menjemput kak Dian yang baru saja pulang dari melbourne untuk kuliah. Mama sangat terpukul dalam kejadian itu, harus kehilangan suami dan anak perempuan satu-satunya yang sudah empat tahun tidak bertemu itu.

"Enggak, Mama nangis bukan karna itu. Mama sedih karena harus meninggalkan kamu lagi." Mama pernah menjadi TKW diluar negeri setahun setelah papa dan kakak ku meninggal untuk menutupi kebutuhan keluarga, tiga tahun kemudian Mama pulang karena dirasa tabungannya akan cukup untuk aku dan mama.

"Maksud Mama apa? Mama mau jadi TKW lagi?". Mama hanya menjawab dengan anggukan sambil mengusap air mata dengan tangannya.

"Ma, aku kan bisa kerja, gaji aku di cafe juga udah cukup kan buat tambahan kebutuhkan kita? Habis ini Devan udah lulus Ma, Devan bisa kerja full seharian buat ngehidupin keluarga kita, Mama gak perlu capek-capek kesana lagi".

"Devan, Mama mau kamu kuliah, Mama pengen lihat kamu menjadi Sarjana. Jadikan itu sebagai obat hati Mama karena sudah kehilangan Kak Dian dan Papa. Mama janji, setelah kamu lulus kuliah, Mama pulang dan nemenin kamu disini". Dengan suara yang bergetar mama berusaha melantangkan suara nya agar terliat kuat didepanku, walaupun aku tau, hati wanita mulia disebelahku ini sedang hancur.

"Baiklah kalau itu mau Mama, aku janji aku akan buat Mama bangga", aku memeluk mama dan akhirnya tangisku pecah juga, tidak peduli pepatah mengatakan laki-laki tidak boleh menangis. Untuk kali ini, aku harus abaikan hal itu karna wanita mulia dipelukanku saat ini.

Hari yang tidak aku tunggu pun akhirnya datang. April. Tepat di awal bulan ini, di bandara Juanda, aku harus melepaskan  pelukanku pada wanita yang paling aku cintai di dunia ini. Aku akan menunggu empat tahun lagi di April yang sama, memeluk mama lagi, mengucapkan selamat datang dan tidak akan membiarkannya pergi lagi, apapun yang terjadi.

Pelukan Siska disampingku seakan mengobati rasa sakit karena harus di tinggal mama lagi. Aku harus bisa mewujudkan keinginan mama.

"Sayang, jangan sedih lagi. Kan masih ada aku, aku janji akan nemenin kamu dalam susah maupun senang sampai kapanpun". Ingin rasanya aku mengeluarkan kata-kata tapi mulutku terbungkam, aku hanya bisa memeluknya, berharap semua akan seindah yang dikatakannya.

Hari-hari ku berjalan dengan baik, ada banyak kebahagiaan datang yang sangat tak terduga. Mulai dari aku mendapat beasiswa di Universitas dan jurusan yang sama dengan Siska, mama ku mendapat perkerjaan yang baik, tidak seperti sebelumnya yang harus bekerja seharian, sekarang mama hanya bekerja pagi jam 9 dan selesai jam 3 sore, jadi lebih banyak waktu untuk bisa berbincang denganku walau hanya lewat video call. Gaji mama juga lumayan besar, cukup untuk biaya hidupku selama kuliah, karna aku harus kos. Jarak rumah dan kampusku lumayan jauh.

Aku menjalankan hari-hari ku seperti mahasiswa pada umumnya. Kuliah, nugas, jadi anak kosan, kadang jalan sama Siska. Eh iya aku juga masih part time di cafe, tapi aku mencari cafe didekat kost ku. Aku bekerja untuk menghilangkan rasa sedihku, karna ketika aku diam semua kenangan buruk akan terlintas di benakku, aku juga ingin menabung, uang hasil kerja ku tidak pernah ku pakai untuk jajan, kecuali kalau benar-benar mendesak. Tabungan ini akan kupakai nanti, ketika aku menikah, aku akan membahagiakan istriku, dan mama. Aku tidak akan membiarkan anak-anak ku nanti bernasib sama sepertiku, tidak pernah seutuhnya memiliki keluarga yg utuh sejak kelas 6 sd, tepat pada meninggalnya papa dan kakakku.

Dan, April yang aku tunggu pun tiba. Sudah bertahun-tahun aku menantikan ini. Kepulangan mama serta kabar gembira bahwa aku dan Siska sudah menyelesaikan tugas akhir kami, kami akan segera di wishuda 2 bulan lagi. Yang artinya, mama ada disampingku pada hari yang membahagiakan itu.

Aku pergi ke Bandara bersama Siska sejak pagi buta, karena tidak ingin melewatkan moment spesial ini. Bersama siska, dengan penuh semangat aku menikmati perjalanan ke Surabaya.

Pesawat mama di jadwalkan akan landing jam 9 tepat. Jarum jam menunjukkan pukul 7, aku dan siska sudah stand by di bandara. Di perjalanan tadi mama sempat video call denganku dan Siska, meminta doa agar selamat sampai tujuan, aku tidak sabar ingin memeluk wanita terindahku ini.

"Ciyee, senyum-senyum. Seneng banget mama nya mau pulang, sampek jam segini kita udah stand by loh hahaa", Siska mendorong bahu ku sambil mengejekku.

"Apaan si kamu yang, iyalah aku seneng, aku kangen banget sama mama. Aku janji setelah kita wisuda dan dapat kerja, aku akan segera ngelamar kamu".

"Hahaha apaan si Devan, jadi terharu deh. Iya iya amiin semoga semua impian kamu terwujud."

Aku menggenggam erat tangan Siska, tanda bahwa aku benar-benar tidak ingin kehilangan dia.

Waktu menunjukkan pukul 9 lewat 15 menit. Aku mulai gelisah, kenapa tidak ada tanda-tanda pesawat mama landing, padahal kan di jadwalnya pukul 9 tepat.

Tiba-tiba banyak orang datang memadati bandara, semua orang terlihat panik. Aku tidak tau apa yang terjadi. Ada yg menangis, mengejar-ngejar petugas bandara dan bertanya dengan panik, tapi tidak satu petugas pun yang memberikan jawaban. Wartawanpun mulai berdatangan, semua hal negatif pun muncul di otakku. Tidak, aku tidak ingin isi otakku ini benar-benar menjadi kenyataan.

"Mbak, permisi, ini ada apa ya kok orang-orang pada panik semua", suara Siska menarik kesadaranku yang sedari tadi telah tenggelam dalam hati yang sedang berdebat dengan sendirinya.

"Ehh itu mbak, ada kecelakaan pesawat, pesawatnya harusnya sampai jam 9 ini, ternyata di kabarkan pesawat jatuh di laut sejak 30 menit yang lalu, dan kata warga setempat tidak ada yang bisa diselamatkan".

Aku menatap wajah wartawan itu dengan marah, kesal, sedih. Kenapa harus kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Aku menggenggam tangan siska dengan sekuat tenaga, dia menoleh kepadaku, seperti tau apa yang sedang aku fikirkan.

Aku berlari menerobos kerumunan masa, mencari siapapun yang bisa aku tanya siapa saja penumpang dalam pesawat itu. Aku tidak mempedulikan suara Siska yang sampai serak memanggilku, yang terpenting sekarang aku tau bagaimana nasib mama.

Tiga hari pencarian dilakukan, aku menginap di Rumah Sakit tempat janazah korban pesawat di kumpulkan. Aku menunggu kabar mama, sampai saat ini belum ada nama Dewinta Suryadi di daftar korban yang telah ditemukan. Aku ingin bertemu mama, walaupun untuk yang terakhir kalinya. Apapun keadaannya aku ingin memeluknya. Aku ingin menceritakan semuanya, aku ingin memberitahunya bahwa selangkah lagi aku akan menjadi sarjana, mewujudkan keinginan mama. Harusnya ini menjadi kado terindah menyambut kepulangan mama.

Dan.. tepat di bulan April ini lagi..

"Devan, mama kamu sudah di temukan, sekarang ada di kamar jenazah." Seketika aku menepis tangan Siska dan berlari ke kamar jenazah.

"Devan, tunggu! Kamu yang kuat ya, aku temenin kesana, tapi kita gak bisa liat jenazah mama kamu, karna kata petugas medis, semua korban kecelakaan itu tubuhnya sudah hancur", aku mendengar kalimat yang keluar dari bibir Siska seperti cambukan api bagiku, sekuat tenaga aku mengeluarkan suara sebisaku, "Terimakasih ya, Sis". Siska menggandeng lenganku dengan erat, seakan aku akan terjatuh, walaupun sebenarnya itu benar, kakiku terasa tidak mampu lagi menopang tubuhku.

Dan akhirnya, April ku kali ini menghancurkan kehidupanku. Tidak seindah yang kubayangkan, tidak seindah yang Siska pernah katakana. Bagiku ini tidak adil, kenapa aku tidak pernah merasakan kebahagiaan memiliki keluarga yang seutuhnya. Aku harus kehilangan semua keluarga yang sangat aku cintai. Dan, bagaimanapun juga aku harus sadar bahwa ini adalah Takdir. Di depan makam mama, aku berjanji akan menjalani hidupku dengan baik, aku tidak akan menyerah dan putus asa. Karena jika aku menyerah dan memutuskan untuk mengakhirinya disini, aku yakin, papa, mama dan kakakku pasti akan sedih. Aku akan membahagiakan orang disekitarku. Dengan kejadian di bulan April ini, Semoga Tuhan menggantikannya dengan memberikanku keluarga yg utuh, dan anak-anakku kelak tidak bernasib sama sepertiku

-Selesai-


Komentar